Rabu, 11 Juli 2018

Praanggapan,Implikatur ,Inferensi Dan Dieksis

Praanggapan,Implikatur ,Inferensi Dan Dieksis

Praanggapan memegang peranan penting di dalam menetapkan keruntutan (koherensi) wacana. Menurut Filmore dalam Rani (2006:168), dalam setiap percakapan selalu digunakan tingkat-tingkat komunikasi yang implisit atau praanggapan dan eksplisit atau ilokusi. Sebagai contoh , ujaran dapat dinilai tidak relevan atau salah bukan hanya dilihat dari segi cara pengungkapan peristiwa yang salah pendeskripsiannya, tetapi juga pada cara membuat praanggapan yang salah.
Kesalahan membuat praanggapan mempunyai efek dalam ujaran manusia. Dengan kata lain, praanggapan yang tepat dapat mempertinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Makin tepat praanggapan yang dihipotesiskan, makin tinggi nilai komunikasi suatu ujaran. Menurut Chaika dalam Rani (2006:168), dalam beberapa hal, makna wacana dapat dicari melalui praanggapan. Ia mengacu pada makna yang tidak dinyatakan secara eksplisit.
Contoh :
(1) Ayah saya datang dari Surabaya.
Dalam contoh (1) Praanggapannya adalah : 1) saya mempunyai ayah; 2) ayah ada di Surabaya. Oleh karena itu, fungsi praanggapan membantu mengurangi hambatan respon orang terhadap penafsiran suatu ujaran.
Konsep implikatur dikenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk memecahkan persoalan bahas ayang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakaiuntuk memperhitungkan apa yang dimaksud oleh penutur sebagai halyang berbeda dari yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule). contoh kalau ada ujaran panas disini bukan? Maka secara implisit penutur menghendaki agar mesin pendingin dihidupkan atau jendela dibuka.
Menurut Gice dalam Rani (2006:170) dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional yaitu implikatur yang ditetukan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai.
Contoh:
Dia orang Madura karena itu dia pemberani.
Dari contoh tersebut penutur secara tidak langsung menyatakan bahwa suatu ciri (pemberani) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Madura).tapi ungkapan konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada.
Prinsip kerjasama ditopang oleh spernagkat asumsiyang disebut prinsip-prinsip percakapan (maxims of converstasion). Yaitu (1) prinsip kuantitas berikan sumbangan anda seinformatif (dengan tujuan pertukaran yang sekarang) jagan memberikan informasi melebihi yang dibutuhkan. (2) prinsip kualitas jangan mengatakan apa yang menurut anda tidak benar dan jangan meyakini bukti kebenaran yang kurang meyakinkan. (3) prinsip hubungan usahakan perkataan anda ada relevansinya, dan (4) hindari pernyataaan yang samar, krtksaaan,usahakan agar ringkas, agar bicara dengan teratur dikutip dari pendapat Grice dalam Rani (2006:172).
Makna ujaran pada contoh diatas tergantun pada konteksnya, ujaran dits merupakan ujaran yang bermakna sebagai janji, informasi, pernyataan maksut yang disebut tindak ttutur, dengan demikan ujaran ditas masih bermakna ambiguits atu bermakna ganda apabila tidak dissertai konteks peggunaannya. Perbedaan konteks, baik konteks linguistic mupun konteks etografi, dapat membedakan makna suatu bentuk lingustik. Terdapat tiga tahap dalam memahami implkatur degan cara berikut:
Tahap 1: pemaaman proporsi eksplikatur
Tahap 2: mencocokan dengan konteks(jika proporsi eksplikatur tidak cocok maka dapat dilanjutkan dengan tahap selanjutnya)
Aap 3: mengubah pemahaman proporsisi sesuai degan konteks dengan cara mencari:
Makna ujaran kelanjutan
Makna asosiasinya
Makna ironya dan
 makna yang hilang
Inferensi atau penarikan simpulan dikatakan oleh Gumperz (Rani, 2006: 183) sabagai proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks percakapan. Dengan inferensi, pendengar menduga kemauan penutur dan, dengan itu pula, pendengar meresponsnya. Dengan begitu, inferensi tidak hanya ditentukan oleh kata-kata pendukung ujaran, malainkan juga didukung oleh konteks dan situasi.
Sering terjadi apa yang dimaksud penutur tidak sama dengan apa yang dianggap oleh pendengar sehingga terkadang jawaban si pendengar tidak dapat merespons balik atau sering juga terjadi si penutur mengulang kambali ujarannya dengan cara atau kalimat yang lain supaya dapat ditanggapi pendengar. Mungkin, apa yang dimkasud penutur tidak dapat ditanggapai pendengar seluruhnya. Gagasan yang ada dalam otak penutur direalisasikan dalam bentuk kalimat-kalimat. Kalau tidak pandai-pandai menyusun kalimat atau tidak pendai-pandai menanggapinya maka akan terjadi kesalahpahaman. Lubis (Rani, 2006: 183) memberi contoh, ada dua orang berjumpa dan peristiwa perjumpaan itu diceritakan oleh salah satunya ke kawan lainnya. Terjadilah percakapan sebagai berikut :
A : “Saya baru bertemu dengan si Toni.”
B : “Oh, si Toni kawan kita SMA dulu itu?”
A : “Bukan, tapi Toni kawan kita SMP dulu.”
B : “Toni yang gemuk itu?”
A : “Bukan, bukan Toni yang gemuk, tapi Toni yang kurus.”
B : “Oh, ya, saya tahu.”
Pada ujaran pertama si B salah tanggap. Yang tergambar dibenaknya adalah si Toni teman SMA. Setelah diterangkan oleh si A bahwa Toni itu teman SMP, si B salah tanggap lagi, karena yang diduga adalah Toni yang bertubuh gemuk. Sesudah kalimat yang ketiga dari si A, barulah B paham siapa si Toni sebenarnya.
Dieksis adalah cara merujuk pada suatu hal yang berkaitan erat dengan konteks penutur (Kushartanti, 2009: 111)
Contoh:
Besok saya akan menunggu kamu disini.
Didalam ujaran tersebut, kata saya merujuk pada seseorang yang mengucapkan kalimat itu dan bukan diri kita sendiri. Kata besok merujuk pada hari sesudah hari tersebut diucapkannya ujaran. Disini merujuk pada tempat sipenutur. Semua hal itu berkaitan dengan dieksis. Ada tiga jenis dieksis, yaitu dieksis ruang,dieksis persona dan dieksis waktu. Ketiga jenis dieksis ini bergantung pada interpretasi penutur dan mitra tutur, atau penulis dan pembaca, yang berada didalam konteks yang sama (Kushartanti, 2009:111).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar