Rabu, 11 Juli 2018

Kohesi dan Koherensi dalam Wacana

Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Dengan demikian, jelaslah bahwa kohesi merupakan organisasi sintaktik, merupakan wadah kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Hal ini berarti bahwa kohesi adalah hubungan antar kalimat dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu (Gutwinsky, 1976 : 26)
Khusus untuk bahasa Inggris, dua orang pakar-Halliday dan Hasan tahun 1976 telah mengemukakan sarana-sarana kohesif yang terperinci dalam karya mereka yang berjudul Cohesion in English. Mereka mengelompokkan sarana-sarana kohesif itu ke dalam lima kategori, yaitu :
Pronominal (kata ganti)
Pronomina atau kata ganti terdiri atas kata ganti diri, kata ganti penunjuk, dan lain-lain. Kata ganti diri dalam bahasa Indonesia adalah :
saya, aku, kita, kami
engkau, kamu, kau, kalian, anda
dia, mereka.
Substitusi (penggantian)
Susbtitusi adalah proses atau hasil penggantian unsure bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu. (Kridalaksana, 1984 : 185).
Susbtitusi merupakan hubungan gramatikal, lebih bersifat hubungan kata dan makna. Substitusi dalam bahasa Indonesia dapat bersifat nominal, verbal, klausal,atau campuran ; misalnya satu, sama, seperti itu, sedemikian rupa, demikian, begitu, melakukan hal yang sama.
Ellipsis
Elipsis adalah peniadaan kata atau satuan lain yang wujudnya asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Kridalaksana, 1984 : 45). Elipsis dapat pula dikatakan penggantian nol (zero); sesuatu yang ada tetapi tidak diucapkan atau tidak dituliskan. Hal ini dilakukan demi kepraktisan. Elipsis pun dapat pula dibedakan atas elipsis nominal, ellipsis verbal, ellipsis klausal
konjungsi
Konjugsi adalah yang dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frase dengan frase. Klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, atau paragraf dengan paragraf (Kridalaksana, 1984 : 105).Konjugsi dalam bahasa Indonesia dapat dikelompokkan atas :
Konjugsi adversatif : tetapi, namun
Konjugsi klausal : sebab, karena
Konjugsi koordinatif : dan, atau tetapi
Konjugsi korelatif : entah/entah, baik/maupun
Konjugsi subordinatif : meskipun, kalau, bahwa
Konjugsi temporal : sebelum, sesudah
leksikal
Leksikal diperoleh dengan cara memilih kosakata yang serasi. Ada beberapa cara untuk mencapai aspek leksikal kohesi ini, antara lain :
Pengulangan (repetisi) kata yang sama : pemuda-pemuda
Sinonim : pahlawan-pejuang
Antonim : putra-putri
Hiponim : angkutan darat-kereta api, bis
Kolokasi : buku, koran, majalah-media massa
Ekuivalensi : belajar, mengajar, pelajar, pengajar, pengajaran
Dari pengertian yang terter pada kamus tersebut, dapat dilihat bahwa tidak terlihat perbedaan nyata antara koherensi dan kohesi. Oleh sebab itu, tidak usah heran bahwa dalam sejumlah buku pengertian kedua istilah ini sering disamakan, dipertukarkan pemakainnya. Namun, berusahamembedakannya, sekalipun kita mengetahui bahwa keduanya saling menunjang, saling berkaitan.
Koherensi adalah pertalian atau jalinan antar kata, atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Sehingga fakta yang tidak terhubungkan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya.
Telaah piranti Kohesi dalam wacana mencakup dua jenis piranti kohesi, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksial. Piranti kohesi gramatikal  adalah piranti kohesi yang dinyatakan dengan jenis tata bahasa. Piranti kohesi gramatikal, meliputi piranti kohesi pengacuan (reference), pelepasa (delection), pemakaian pronominal, penyulihan (substitusi), penyebutan ulang, pemakaian konjungsi. Piranti ohesi leksial adalah piranti kohesi yang diwujudkan dalam bentuk leksial, mencakup nomina umum (general noun), reitarasi (reiteration), repitisi (repition), sinonim, superordinat, kolokasi (collaction)
Piranti Kohesi Konjungsi
Konjungsi merupakan kohesi dalam wacana teks maka terlihat pada hubungan antar unsure klausa / kalimat, baik dalam tataran intra kalimat, antarkalimat, antarparagraf, maupun dalam tataran yang lebih besar. Piranti kohesi konjungsi dalam wacana / teks dapat berwujud hubungan pertentangan, penambahan, pengecualian, sebab – akibat, dan sebagainya.
Keterangan:
Pada kata dan, juga terdapat piranti kohesi konjungsi penambahan (adiktif)
Piranti Kohesi Subtitusi (Penyulihan)
Penyulihan merupakan piranti kohesi pergantian konstituen dengan memakai kata  yang maknanya sama sekali berbeda dengan makna kata yang dibacanya
Contoh:
Oleh karena itu, Turki ingin meningkatkan kemitraan dengan Indonesia mengingat Negara itu menghadapi tantangan yang besar dalam menghadapi terror dan radikalisme.
Keterangan:
Pada kalimat diatas merupakan penyulihan, karena pada kata itu merupakan pergantian kata pengacuan yang berbeda maknanya dengan yang dialaminya.
Piranti Kohesi Referensi  (Pengacuan)
Referensi merupakan peruses mengacu kesesuatu yang diacunya.
Contoh:
a.       Indonesia adalah Negara yang sangat paham menghadapi terror.
b.  Turki ingin meningkatkan kemitraan dengan Indonesia mengingat Negara itu menghadapi tantangan dalam menghadapi teror.
Keterangan:
Konstituen Indonesia dan teror merupakan sesuatu yang diacu dan kalimat tersebut tidak mengalami pergantian kata.
Anafora dan Katafora
Anafora merupakan pengacuan oleh suatu unsur pada unsur lain yang mendahului.
Contoh:
Negara itu menghadapi tantangan yang besar dalam menghadapi teror dan radikalisme.
Keterangan:
Wacana tersebut menunjukkan Kohesi pengacuan anaphora karena mengacu kekonstituen Negara itu yang menjadi subjek klausa pertama. Katafora merupakan pengacuan oleh suatu unsure kepada unsure lain yang mengikutinya.
Contoh:
Kami terus bertekad melakukan perjuangan melawan teroris, kita memasuki era dimana harus waspada, katanya.
Piranti kohesi pengulangan
Piranti kohesi dengan sebuah wacana, juga ditandai dengan penggunaan bentuk pengulangan secara defenisi.
Adapun piranti kohesi pengulangan terdapat pada kata, yaitu:
Turki
Negara
Radikalisme
Terorisme
Indonesia
Terror
 Presiden Erdogan
Kemarin
Menghadapi
Organisasi
Isis
Perlawanan
Beberapa
Dengan kata lain koherensi sebuah wacana tidak terletak pada adanya piranti kohesi. Disamping piranti kohesi masih banyak factor yang lain yang memungkinkan terciptanya koherensi itu, antara latar belakang pengetahuan pemakai Bahasa atas bidang permasalahan (subject matter), pengetahuan atas latar belakang budaya dan sosial, kemampuan “membaca” tentang hal-hal yang tersirat, dan lain-lain (van de velde 1984). Marilah, kita perhatikan contoh dibawah ini .
“(a). Guntur kembali bergema dan hujan menderas lebih hebat lagi. (b) Hati makin kecut ”
Biarpun tidak terdapat permakah hubungan yang jelas antara kalimat (a) dan (b), tiap pembaca akan menafsirkan makna kalimat (b)mengikuti kalimat (a). pembaca mengandaikan adanya ‘hubungan semantik’ antara kalimat-kalimat itu, biarpun tidak terdapatpermarkah eksplisit yang menyatakan hubungan seperti itu. Agaknya merupakan kenyataan , bahwa kohesi, dalam penegrtian realisasi yang jelas tentang hubungan – hubungan semantik, tidak menjadi kreteria bagi identifikasi dan pemahaman wacana. Disamping itu adanya kohesi (formal) belum menjadi jaminan bagi identifikasi wacana.
Syarat lain tetcapainya koherensi wacana, selain penataan urutan kalimat ( proposisi) bahwa proposisis itu harus positif. Tuturan seperti :
“Boncel belum mempunyai istri.”
Tidak bisa menciptakan referen wacan untuk konsep istri. Karena itu, tuturan tersebut tidak bisa diikuti tuturan seperti :
“Istri cantik.  Kulitnya kuning langsat dan matanya jeli.”
Hal itu dapat dipahami karena telah diketahui bahwa boncel tidak memiliki istri sehingga tidak mungkin diberikan ciri-ciri tentang istri yang tidak ada itu.
Hal lain yang memegang peranan dalam menciptakan koherensi, menurut Dardjowidjojo (1986), ialah apa yang disebut praanggapan (presupposition). Pranggapan yang bersifat logis ( keenam,1971 :23) memeungkinkan kita mengetahui hal-hal yang tersirat dalam wacana yang kita dengar atau baca. Contoh :
       “Boncel tidak lagi memukuli istrinya ”
Pada contoh dapat diketahui bahwa (a) boncel adalah orang yang telah kawin, dan (b) ia dikenal sebagai orang ringan tangan terhadap istrinya. Kalua kedua prangaapan itu  tidak terpenuhi maka tuturan diatas tidak mempunyai nilai kebenaran (trutbbvalue). Jika kedua prangaapan itu bena, maka contoh berikut merupakan tuturan yang runtut terhadap tuturan.
Prangapaan yang bersifat pragmatick, menurut Dardjowidjojo (1986), membekali kita tentang pengetahuan yang secara kodrati kita serap sedikit demi sedikit dari fenomenaalam sekitar. Salah satu diantaranya adalah pengetahuan tentang benda. Benda apapun didunia ini memiliki bagian wajib yang secara konseptual tidak bisa dilepaskan daripadanya. Bendah seperti rumah memiliki bagian-bagian wajib. Seperti atap, lantai, pintu, dan sebagainya sedangkan manusia memiliki bagian –bagian wajib : mata, hidung, kaki, mulut, dan sebagainya. Apabila benda induknya sudah disebut, dengan sendirinya, bagian-bagian wajib lainyatelah ikut diperkenalkan sehinga bagian-bagian telah menjadi informasi lama. Contoh:
        “Firdaus membeli rumah dikota.”
Tuturan itu dapat diikuti dengan tuturan berikut.
“Pintunya dari kayu jati,Atapnya genting cor, catnya biru muda, dan pagarnya sangat tinggi.”
Factor lain seperti lokasi geografis dan kesadaran budaya dapat pula memberi pengaruh koherensi wacana. Marilah, kita perhatikan contoh dibawah ini :
(a)Dono membeli rumah minggu lalu (b) lantainya dua meter dari tanah.
Kedua tuturan itu merupakan dua tuturan yang padu bagi mereka yang ,mempunyai budaya rumah yang tinggi, sedangkan bagi kelompok lain, yang lantai rumahnya pada umumnya setara dengan tanah, tuturan seperti itu diangap aneh.
Disamping itu, pemahaman wacana juga ditentukan oleh variasi ujaran dalam situasi yang berbeda. Penguraian sumber privasi menghendaki sejumlah persyaratan , misalnya kita harus melihat peranan partisipan tutur, hubungan antar partisipan ; apakah mereka itu sahabat , orang asing , muda,tua, berasal dari status yang sama, dan seterusnya. Semua factor itu mempengaruhi apa yang dituturkan dan bagaimana suatu itu dituturkan. Tugas pendengar atau pembaca adalah menguraikan topik tuturan dan dalam situasi bagaimana tuturan itu terjadi. Namun demikian, sebagai pemakai Bahasa dalam budaya tertentu, kita memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana menafsirkan suatu tuturan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar