Rabu, 11 Juli 2018

berdasarkan pendapat Van Djik dan Norman Fairclough
Van Dijk mengemukakan analisis wacana adalah bangun teoretis yang abstrak. Dengan begitu, wacana belum dapat dilihat sebagai perwujudan fisik bahasa. Adapun perwujudan bahasa adalah teks (Badara, 2013: 16). Dari sekian banyak analisis kritik wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh beberapa ahli model Van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Hal ini kemungkinan karena Van Dijk mengkolaborasikan elemen-elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis. Model Van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi social”. Nama pendekatan ini tidak dapat dilepasakan Van Dijk.
Pendekatan yang dikenal sebagai konjungsi social ini membantu menentukan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan.Teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktek wacana. Teks ini ada dua bagian, yaitu teks mikro yang mempresentasikan marginalisasi terhadap perempuan dalam berita, dan elemen besar berupa struktur social tersebut dengan elemen wacana yang makro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi social. Untuk menggambarkan modelnya tersebut, Van Dijk membuat banyak sekali studi analisis pemberitaan media.
Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Van Dijk menggabungkan tiga dimensi wacana tersebut kedalam suatu kesatuan analisis. Dalam teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Kognisi social mempelajari proses induksi teks berita yang melibatkan kognisi individudari wartawan. Sedangkan aspek ketiga yaitu kritik social yang mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah.
Menurut Van Dijk, meskipun terdiri dari atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan  suatu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks, pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Pada tingkat yang lebih rendah, akan dijumpai pemakaian kata-kata yang  menunjuk dan memperkuat pesan. Menurut Littejohn, antar bagian teks dan model Van Dijk dilihat saling mendukung, mengandung arti yang koheren satu sama lain. Hal ini karena semua teks dipandang Van Dijk memiliki suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat dan proposisi yang dipakai. Pertanyaan atau tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat atau retorika tertentu.
Dari begitu banyak model analisis wacana yang diintoduksikan dan dikembangkan oleh beberapa ahli, model Van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Hal ini mungkin disebabkan karena Van Dijk menformulasikanelemen-elemen wacana, sehingga bisa dipakai secara praktis. Model yang dipakai oleh van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial” (Eriyanto 2001:221). Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati.
Dalam buku Eriyanto, Van Dijk melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana pikiran dan kesadaran membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi  teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks yang pertama, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Ketiga dimensi ini merupakan bagian yang integral dan dilakukan secara bersama-sama dalam analisis Van Dijk (Eriyanto 2001:225).
Van Dijk membagi struktur teks ke dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro. Ini merupakan makna global dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur. Ini merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka atau skema suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga,struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian  kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, parafrase dan lain-lain.  Meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya.
Dimensi ketiga analisis Van Dijk adalah analisis sosial atau konteks sosial wacana adalah wacana yang berkembang dimasyarakat, sehingga untuk meneliti teks perlu dilakukan intertekstual dengan meneliti wacana tentang suatu hal di produksi dan di kontruksi dalam masyarakat . Menurut Van Dijk dalam analisis mengenai masyarakat adadua poin yang paling penting :
Praktik Kekuasaan : Van Dijk mendefinisikan kekuasaan tersebut sebagai kepemilikan yang dimiliki  oleh suatu kelompok (atau anggotanya), Satu kelompok untuk mengontrol kelompok (atau kelompok) dari kelompok lain. Kekuasaan ini biasanya didasarkan pada kepemilikan atas sumber sumber yang bernilai seperti uang,status dan pengetahuan. Selain bersifat control yang bersifat langsung secara fisik kekuasaan itu di pahami Van Dijk juga berbentuk persuasif. Analisa wacana memberikan perhatian yang besar terhadap dominasi.
Akses mempengaruhi Wacana :  Analisis Van Dijk memberi perhatian yang besar pada akses, bagaimana akses diantara masing-masing kelompok dalam masyarakat. Kelompok elit akses memiliki akses yang lebih besar di bandingkan kelompok yang tidak berkuasa.
Felanans Mustari berkunjung ke Kampung Long Apari diajak oleh rombongan Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah Terpencil (BPKP2DT) Kaltim Felanans tahu, BPKP2DT bukan pertama kali mengajak wartawan ke daerah perbatasan. Dia juga tahu, sebelumnya ada rekan kerjanya juga pernah diajak BPKP2DT diajak ke Long Apari. Untuk itu, dia merasa harus membuat berita dengan gaya berbeda. Selain itu, agenda BPKP2DT adalah agenda kunjungan-kunjungan. Jika hanya ikut rombongan, tak ada peristiwa yang menarik dan memenuhi syarat untuk menjadi berita. Seperti dijelaskan Felanans, berikut kutipan wawancara bersama Felanans.: “Saya mencoba menyajikan tulisan dalam bentuk lain. Karena sebelumnya, sudah ada rekan saya, Faroq Zamzani yang datang terlebih dulu ke sana. Jika saya membuat tulisan yang sama seperti wartawan lain, berati tidak ada yang berbeda dari berita-berita tentang Long Apari. Kalau saya hanya mengikuti BPKP2DT Analisis Wacana Berita Kisah-Kisah dari Perbatasan Negara (Hermina) saya juga tidak bisa membuat berita yang bagus. Jadi saya pergi ke sekolah, datang ke petinggi kampung di luar agenda bersama BPKP2DT” kata Felanans. (wawancara 24 Oktober 2013).
Menurut Van Dijk analisis wacana harus menyertakan bagaimana reproduksi kepercayaan yang menjadi landasan bagaimana wartawan menciptakan suatu teks berita. Felanans Mustari sebagai penulis berita dalam berita “Kisah-Kisah dari Perbatasan Negara” menekankan tulisannya pada skema peran. Seperti dijelaskan Van Dijk, skema peran berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi yang ditempati seseorang dalam masyarakat. Dalam tulisan ini Felanans menyajikan tulisan dengan ide yang mungkin terpikir banyak orang tapi disajikan dengan gayanya sendiri. Biasanya kondisi seperti ini menjadi berita langsung (straight news), di sajian tulisannya Felanans menulis dengan tujuan informatif dengan sentuhan tulisan sastra menghibur. Felanans mengakui berita itu dia tulis ketika masih baru belajar menulis sebuah liputan khas. Berikut petikan wawancaranya : “Itu tulisan 2010 ketika saya masih belajar menulis sajian tulisan khas. Saya menyadari jika masih ditemukan kalimat atau kata yang salah” Selain itu, Felanans menggambarkan keindahan alam Long Apari bukan berdasar pengalamannya datang ke tempat yang dia gambarkan (khusus di tulisan “JingkatJingkat ke Negeri Kerabat”). Berikut jawabannya soal cara menggambarkan keindahan alam Long Apari : “Saya mendengarkan Ding Jo bercerita, kemudian saya tulis. Saya temui Ding Jo di sekolah tempatnya mengajar. Awalnya saya mau menulis sekolah itu saja. Tapi Ding Jo sangat terbuka dan mau banyak bercerita. Sehingga saya banyak mendapat gambaran daerah-daerah yang pernah dia datangi di perbatasan. Malaysia,”kata Felanans. (Wawancara 24 Oktober 2013) Selebihnya, tulisan memang berdasarkan pengalamannya datang ke Kampung Long Apari, diajak oleh rombongan Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah Terpencil (BPKP2DT) Kaltim. Di sela-sela perjalanan, Felanans menyempurnakan berita untuk keberimbangan dengan menggali informasi dengan petinggi kampung. Kemudian dia juga mengkonfirmasi Kepala Kantor Imigrasi Klas IA Samarinda yang saat itu dijabat Zaeroji untuk kepastian penulisan kunjungan tanpa paspor ke Long Singot. Tentang pemilihan kata-kata yang jarang digunakan, Felanans mengatakan, tidak takut membingungkan pembaca dnegan menggunakan kata pilihannya. Berikut penjelasan Felanans tentang banyak kata ganti, metafora, dan padanan kata yang dia pakai : “Saya menempatkan pilihan kata tersebut di posisi kalimat yang pasti dimengerti pembaca,” kata Felanans (Wawancara 27 Oktober 2013)
Di analisis ini, peneliti menggunakan cara studi pustaka dengan melihat
pola pemberitaan tentang kondisi ketertinggalan pembangunan Long Apari di
media lokal lain. Baik dari Kaltim Post, Samarinda Pos, dan Tribun Kaltim serta
media lain. Wacana perbatasan Long Apari yang berkembang dalam masyarakat dipengaruhi dua faktor yaitu :
Analisis wacana van Dijk memberikan perhatian yang besar pada apa yang disebut sebagai dominasi. Contohnya, rasisme dalam bentuk dominasi kulit putih atas ras minoritas lain yang terjadi di Eropa. Suatu media yang dimiliki ras kulit putih akan mendominasi berita-berita yang perhatian dengan rasnya. Sebaliknya dengan ras minoritas. (Eriyanto 2009 : 272) Dalam berita “Kisah-Kisah dari Perbatasan Negara” wacana ketertinggalan pembangunan diperbatasan berkembang dengan dukungan.
banyak pihak. Sehingga banyak media juga perhatian dengan isu-isu seputar pembangunan perbatasan. Terutama mengkritisi anggaran pemerintah untuk pembangunan daerah perbatasan baik untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Jadi, tidak ada yang berkuasa wacana pembangunan di Long Apari. Justru pemerintah yang berkuasa membangun Long Apari yang dikritik media masa. Di sini, media-media lokal berperan sebagai kontrol sosial.
Analisis wacana van Dijk, memberi perhatian yang besar pada akses di antara masing-masing kelompok di masyarakat. Kelompok elit mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tidak berkuasa. Mereka yang lebih berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengakses media. Kemudian lebih besar mempengaruhi kesadaran khalayak . (Eriyanto 2009 : 272) Wacana perbatasan negara di berita “Kisah-Kisah dari Perbatasan Negara” akses sepenuhnya dimiliki media. Dalam hal ini wartawan yang melihat suatu peristiwa dan membuatnya suatu berita sebagai kontrol sosial. Warga di Long Apari merupakan kelompok masyarakat minoritas yang kurang perhatian dalam pembangunan. Sehingga, sebuah berita ketertinggalan pembangunan ini mengharuskan media untuk menjalankan fungsi kontrolnya sepenuhnya.

berdasarkan pendapat Van Djik dan Norman Fairclough

berdasarkan pendapat Van Djik dan Norman Fairclough

Van Dijk mengemukakan analisis wacana adalah bangun teoretis yang abstrak. Dengan begitu, wacana belum dapat dilihat sebagai perwujudan fisik bahasa. Adapun perwujudan bahasa adalah teks (Badara, 2013: 16). Dari sekian banyak analisis kritik wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh beberapa ahli model Van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Hal ini kemungkinan karena Van Dijk mengkolaborasikan elemen-elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis. Model Van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi social”. Nama pendekatan ini tidak dapat dilepasakan Van Dijk.
Pendekatan yang dikenal sebagai konjungsi social ini membantu menentukan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan.Teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktek wacana. Teks ini ada dua bagian, yaitu teks mikro yang mempresentasikan marginalisasi terhadap perempuan dalam berita, dan elemen besar berupa struktur social tersebut dengan elemen wacana yang makro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi social. Untuk menggambarkan modelnya tersebut, Van Dijk membuat banyak sekali studi analisis pemberitaan media.
Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Van Dijk menggabungkan tiga dimensi wacana tersebut kedalam suatu kesatuan analisis. Dalam teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Kognisi social mempelajari proses induksi teks berita yang melibatkan kognisi individudari wartawan. Sedangkan aspek ketiga yaitu kritik social yang mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah.
Menurut Van Dijk, meskipun terdiri dari atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan  suatu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks, pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Pada tingkat yang lebih rendah, akan dijumpai pemakaian kata-kata yang  menunjuk dan memperkuat pesan. Menurut Littejohn, antar bagian teks dan model Van Dijk dilihat saling mendukung, mengandung arti yang koheren satu sama lain. Hal ini karena semua teks dipandang Van Dijk memiliki suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat dan proposisi yang dipakai. Pertanyaan atau tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat atau retorika tertentu.
Dari begitu banyak model analisis wacana yang diintoduksikan dan dikembangkan oleh beberapa ahli, model Van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Hal ini mungkin disebabkan karena Van Dijk menformulasikanelemen-elemen wacana, sehingga bisa dipakai secara praktis. Model yang dipakai oleh van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial” (Eriyanto 2001:221). Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati.
Dalam buku Eriyanto, Van Dijk melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana pikiran dan kesadaran membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi  teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks yang pertama, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Ketiga dimensi ini merupakan bagian yang integral dan dilakukan secara bersama-sama dalam analisis Van Dijk (Eriyanto 2001:225).
Van Dijk membagi struktur teks ke dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro. Ini merupakan makna global dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur. Ini merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka atau skema suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga,struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian  kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, parafrase dan lain-lain.  Meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya.
Dimensi ketiga analisis Van Dijk adalah analisis sosial atau konteks sosial wacana adalah wacana yang berkembang dimasyarakat, sehingga untuk meneliti teks perlu dilakukan intertekstual dengan meneliti wacana tentang suatu hal di produksi dan di kontruksi dalam masyarakat . Menurut Van Dijk dalam analisis mengenai masyarakat adadua poin yang paling penting :
Praktik Kekuasaan : Van Dijk mendefinisikan kekuasaan tersebut sebagai kepemilikan yang dimiliki  oleh suatu kelompok (atau anggotanya), Satu kelompok untuk mengontrol kelompok (atau kelompok) dari kelompok lain. Kekuasaan ini biasanya didasarkan pada kepemilikan atas sumber sumber yang bernilai seperti uang,status dan pengetahuan. Selain bersifat control yang bersifat langsung secara fisik kekuasaan itu di pahami Van Dijk juga berbentuk persuasif. Analisa wacana memberikan perhatian yang besar terhadap dominasi.
Akses mempengaruhi Wacana :  Analisis Van Dijk memberi perhatian yang besar pada akses, bagaimana akses diantara masing-masing kelompok dalam masyarakat. Kelompok elit akses memiliki akses yang lebih besar di bandingkan kelompok yang tidak berkuasa.
Felanans Mustari berkunjung ke Kampung Long Apari diajak oleh rombongan Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah Terpencil (BPKP2DT) Kaltim Felanans tahu, BPKP2DT bukan pertama kali mengajak wartawan ke daerah perbatasan. Dia juga tahu, sebelumnya ada rekan kerjanya juga pernah diajak BPKP2DT diajak ke Long Apari. Untuk itu, dia merasa harus membuat berita dengan gaya berbeda. Selain itu, agenda BPKP2DT adalah agenda kunjungan-kunjungan. Jika hanya ikut rombongan, tak ada peristiwa yang menarik dan memenuhi syarat untuk menjadi berita. Seperti dijelaskan Felanans, berikut kutipan wawancara bersama Felanans.: “Saya mencoba menyajikan tulisan dalam bentuk lain. Karena sebelumnya, sudah ada rekan saya, Faroq Zamzani yang datang terlebih dulu ke sana. Jika saya membuat tulisan yang sama seperti wartawan lain, berati tidak ada yang berbeda dari berita-berita tentang Long Apari. Kalau saya hanya mengikuti BPKP2DT Analisis Wacana Berita Kisah-Kisah dari Perbatasan Negara (Hermina) saya juga tidak bisa membuat berita yang bagus. Jadi saya pergi ke sekolah, datang ke petinggi kampung di luar agenda bersama BPKP2DT” kata Felanans. (wawancara 24 Oktober 2013).
Menurut Van Dijk analisis wacana harus menyertakan bagaimana reproduksi kepercayaan yang menjadi landasan bagaimana wartawan menciptakan suatu teks berita. Felanans Mustari sebagai penulis berita dalam berita “Kisah-Kisah dari Perbatasan Negara” menekankan tulisannya pada skema peran. Seperti dijelaskan Van Dijk, skema peran berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi yang ditempati seseorang dalam masyarakat. Dalam tulisan ini Felanans menyajikan tulisan dengan ide yang mungkin terpikir banyak orang tapi disajikan dengan gayanya sendiri. Biasanya kondisi seperti ini menjadi berita langsung (straight news), di sajian tulisannya Felanans menulis dengan tujuan informatif dengan sentuhan tulisan sastra menghibur. Felanans mengakui berita itu dia tulis ketika masih baru belajar menulis sebuah liputan khas. Berikut petikan wawancaranya : “Itu tulisan 2010 ketika saya masih belajar menulis sajian tulisan khas. Saya menyadari jika masih ditemukan kalimat atau kata yang salah” Selain itu, Felanans menggambarkan keindahan alam Long Apari bukan berdasar pengalamannya datang ke tempat yang dia gambarkan (khusus di tulisan “JingkatJingkat ke Negeri Kerabat”). Berikut jawabannya soal cara menggambarkan keindahan alam Long Apari : “Saya mendengarkan Ding Jo bercerita, kemudian saya tulis. Saya temui Ding Jo di sekolah tempatnya mengajar. Awalnya saya mau menulis sekolah itu saja. Tapi Ding Jo sangat terbuka dan mau banyak bercerita. Sehingga saya banyak mendapat gambaran daerah-daerah yang pernah dia datangi di perbatasan. Malaysia,”kata Felanans. (Wawancara 24 Oktober 2013) Selebihnya, tulisan memang berdasarkan pengalamannya datang ke Kampung Long Apari, diajak oleh rombongan Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah Terpencil (BPKP2DT) Kaltim. Di sela-sela perjalanan, Felanans menyempurnakan berita untuk keberimbangan dengan menggali informasi dengan petinggi kampung. Kemudian dia juga mengkonfirmasi Kepala Kantor Imigrasi Klas IA Samarinda yang saat itu dijabat Zaeroji untuk kepastian penulisan kunjungan tanpa paspor ke Long Singot. Tentang pemilihan kata-kata yang jarang digunakan, Felanans mengatakan, tidak takut membingungkan pembaca dnegan menggunakan kata pilihannya. Berikut penjelasan Felanans tentang banyak kata ganti, metafora, dan padanan kata yang dia pakai : “Saya menempatkan pilihan kata tersebut di posisi kalimat yang pasti dimengerti pembaca,” kata Felanans (Wawancara 27 Oktober 2013)
Di analisis ini, peneliti menggunakan cara studi pustaka dengan melihat
pola pemberitaan tentang kondisi ketertinggalan pembangunan Long Apari di
media lokal lain. Baik dari Kaltim Post, Samarinda Pos, dan Tribun Kaltim serta
media lain. Wacana perbatasan Long Apari yang berkembang dalam masyarakat dipengaruhi dua faktor yaitu :
Analisis wacana van Dijk memberikan perhatian yang besar pada apa yang disebut sebagai dominasi. Contohnya, rasisme dalam bentuk dominasi kulit putih atas ras minoritas lain yang terjadi di Eropa. Suatu media yang dimiliki ras kulit putih akan mendominasi berita-berita yang perhatian dengan rasnya. Sebaliknya dengan ras minoritas. (Eriyanto 2009 : 272) Dalam berita “Kisah-Kisah dari Perbatasan Negara” wacana ketertinggalan pembangunan diperbatasan berkembang dengan dukungan.
banyak pihak. Sehingga banyak media juga perhatian dengan isu-isu seputar pembangunan perbatasan. Terutama mengkritisi anggaran pemerintah untuk pembangunan daerah perbatasan baik untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Jadi, tidak ada yang berkuasa wacana pembangunan di Long Apari. Justru pemerintah yang berkuasa membangun Long Apari yang dikritik media masa. Di sini, media-media lokal berperan sebagai kontrol sosial.
Analisis wacana van Dijk, memberi perhatian yang besar pada akses di antara masing-masing kelompok di masyarakat. Kelompok elit mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tidak berkuasa. Mereka yang lebih berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengakses media. Kemudian lebih besar mempengaruhi kesadaran khalayak . (Eriyanto 2009 : 272) Wacana perbatasan negara di berita “Kisah-Kisah dari Perbatasan Negara” akses sepenuhnya dimiliki media. Dalam hal ini wartawan yang melihat suatu peristiwa dan membuatnya suatu berita sebagai kontrol sosial. Warga di Long Apari merupakan kelompok masyarakat minoritas yang kurang perhatian dalam pembangunan. Sehingga, sebuah berita ketertinggalan pembangunan ini mengharuskan media untuk menjalankan fungsi kontrolnya sepenuhnya.
Wacana Deskripsi, Eksposisi, Argumentasi, Persuasi, dan Narasi

Menurut Harimurti Kridalaksana, 1985: 184 (Rani, Abdul:2006), wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal, merupakan satuan gramatikal atau satuan bahasa tertinggi dan terbesar. Sedangkan menurut Khushartanti (2009:92) wacana adalah kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa wacana adalah susunan ujaran yang merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi, saling berkaitan dengan koherensi dan kohesi berkesinambungan membentuk satu kesatuan untuk tujuan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan.
Menurut Leech, 1974 (Khushartanti, 2009:94-95) wacana deskriptif adalah wacana yang menggambarkan sesuatu dengan jelas dan terperinci. Wacana deskripsi bertujuan melukiskan atau memberikan gambaran terhadap sesuatu dengan sejelas-jelasnya sehingga pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, membaca atau merasakan hal yang dideskripsikan. Oleh sebab itu deskripsi yang baik adalah deskripsi yang dilengkapi dengan hal-hal yang dapat merangsang panca indra. Wacana deskriptif dicirikan oleh adanya detail suatu hal, seperti pada profil. Contoh : seperti keadaan banjir, suasana dipasar dan sebagainya.
Contoh:
Dari balik tirai hujan  sore hari, pohon-pohon kelapa disebrang lembah itu seperti perawan mandi basah; segar, penuh gairah, dan daya hidup. Pelepah-pelepah yang kuyup adalah rambut basah yang tergerai dan jatuh di belahan punggung. Batang- batang yang ramping dan meliuk- liuk oleh hembusan angin seperti tubuh semampai yang melenggang tenang dan penuh pesona. Ketika angina tiba-tiba bertiup lebih kencang, pelepah-pelepah itu serempak terjulur sejajar satu arah, seperti tanga-tangan penari yang mengikuti irama hujan, seperti gadis-gadis tanggung berbanjar dan bergurau di bawah curah pancuran.
Wacana deskripsi banyak digunakan dalam katalog penjualan dan juga data-data kepolisian. Kalimat yang digunakan dalam wacana deskripsi umumnya kalimat deklaratif dan kata-kata yang digunakan bersifat objektif. Wacana deskriptif cenderung tidak mempunyai penanda pergeseran waktu seperti dalam wacana narasi.
Jadi, dapat disimpulkan wacana deskripsi adalah wacana yang ditujukan pada penerima pesan tentang gambaran sesuatu dengan jelas dan terperinci.
Menurut Leech, 1974 (Khushartanti, 2009:94-95) wacana eksposisi adalah wacana yang berisi tentang penjelasan suatu hal agar pembaca dapat memahami dengan baik dan jelas tentang suatu informasi. Wacana eksposisi dicirikan oleh kuatnya paparan informasi, seperti pada karangan khas (feature).
Contoh:
Peningkatan kadar keasaman air hujan disebabkan oleh sisa pembakaran di udara.  Bahkan, bahan bakar fosil (misalnya minyak bumi, gas alam, batu bara) apabila dibakar akan menghasilkan sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOX) sebagai penyebab utama keasaman itu. Penghasil SO2 dan NOX terbesar adalah pembangkit listrik dan industri yang menggunakan batu bara sebahai bahan bakar. SO2 dan NOX itu juga dilepaskan oleh kendaraan di jalan. Zat-zat yang berat akan jatuh ke bumi dan yang ringan  mengambang di udara. Jika hujan, zat-zat itu, yang mengambang di udara, tersapu bersih oleh hujan yang turun. Makin banyak zat-zat itu makin asam air hujan yang menyapunya.
Wacana eksposisi menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kata tanya bagaimana. Oleh karena itu, wacana tersebut dapat digunakan untuk menerangkan proses atau prosedur suatu aktivitas. Khusus untuk menerangkan proses dan prosedur, kalimat – kalimat yang digunakan dapat berupa kalimat perintah disertai dengan kalimat deklaratif.
Jadi, dapat disimpulkan wacana eksposisi adalah wacana yang menerangkan sesuatu hal kepada penerima (pembaca) agar yang bersangkutan memahaminya dengan baik.
Menurut Leech, 1974 (Khushartanti, 2009:94-95) wacana eksposisi adalah wacana yang bertujuan mempengaruhi pembaca agar dapat menerima ide, pendapat, atau pernyataan yang dikemukakan penulisnya. Untuk memperkuat ide atau pendapatnya, penulis wacana argumentasi menyertakan data-data pendukung. Tujuannya, pembaca menjadi yakin atas kebenaran yang disampaikan penulis. Wacana argumentasi dicirikan oleh kuatnya argumentasi karena didukung oleh eksplorasi bukti dan prosedur metodologis, seperti pada tesis dan disertasi.
Menurut Leech, 1974 (Khushartanti, 2009:95) wacana persuasi adalah wacana yang berisi imbauan atau ajakan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu seperti yang diharapkan oleh penulisnya. Oleh karena itu biasanya disertai penjelasan dan fakta-fakta sehingga meyakinkan dan dapat mempengaruhi pembaca. Wacana persuasi dicirikan oleh menonjolnya rangsangan dan bujukan dari penutur atau penulis agar mitra tutur atau pembaca mengikuti apa yang diharapkan penutur atau penulis seperti pada iklan.
Contoh:
Lelaki        : “Gratis! Bu, ada yang gratisan lagi! Rinso satu kilo sekarang berhadiah,hadiahnya itu…”
Wanita       : “O, apa sih?” (dengan penuh rasa ingin tahu)
Lelaki        : “He, betulkan… nggak sabra kan! Hadiahnya itu satu sabun Livebuoyseratus gram seharga tiga ratus rupiah. Siip kan, Bu? Jadi ingat, setiap beli Rinso satu kilogram bertanda khusus, jangan lupa minta hadiahnya satu sabun Livebuoy! Oke, cepet lho, sebelum habis!”
Pada wacana diatas, disajikan ide – ide yang dapat membuat para konsumen tetap setia pada barang yang diiklankan. Harapan itu dapat dicapai dengan cara mengubah perasaan, sikap, dan citra pikiran konsumen pada barang tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan wacana persuasi adalah wacana yang berisi ajakan kepada pembaca untuk melakukan sesuatu seperti yang diharapkan oleh penulisnya.
Menurut Leech, 1974 (Khushartanti, 2009:95) wacana narasi adalah wacana yang salah satu jenis wacana yang menceritakan / mengisahkan sesuatu peristiwa secara berurutan berdasarkan urutan kejadiannya. Dengan demikian wacana jenis ini tidak bermaksud untuk mempengaruhi seseorang melainkan hanya menceritakan sesuatu kejadian yang telah disaksikan, dialamin dan didengar oleh pengarang (penulisnya). Narasi dapat bersifat fakta atau fiksi (cerita rekaan). Narasi yang bersifat fakta, antara lain biografi dan autobiografi, sedangkan yang berupa fiksi diantaranya cerpen dan novel. Wacana narasi dicirikan oleh adanya alur, peristiwa, dan tokoh.
Contoh:
Sebulan sejak kedatangan pasukan tentara tak terdengar peristiwa perampokan di wilayah Dawuan. Meskipun tentara tetap siaga dan berpatroli di malam hari, tetapi setidaknya aku merasakan suasana yang tenang diantara mereka. Hubunganku dengan Sersan Slamet lebih dapat dikatakan sebagai hubungan pribadi daripada sebagai hubungan antara seorang kopral dan seorang sersan. Dia banyak bertanya tentang diriku, asal usulku bahkan sekolahku. Dia mengajariku menulis dan membaca setelah mengetahui aku tak pernah bersekolah. Berbagai kisah diceritakan padaku. Tetapi yang kusenangi adalah kisah seorang tentara pelajar yang karena keberaniannya dapat membunuh tiga serdadu musuh dalam suatu pertempuran.

Menganalisis wacana lisan dan tulisan dan menganalisis wacana Polilok dan Dialok

Menganalisis wacana lisan dan tulisan dan menganalisis wacana Polilok dan Dialok

Berdasarkan saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, dibedakan menjadi wacana tulis dan wacana lisan. Wacana tulis (written discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan melalui media tulisan (Mulyana, 2005: 51). Tarigan (1987: 52) berpendapat bahwa wacana tulis merupakan wacana yang disampaikan secara tertulis melalui media tulis. Sedangkan wacana lisan adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung dalam bahasa verbal (Mulyana, 2005:52). Jenis wacana ini sering disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance). Tarigan (1987: 55),
Ciri wacana lisan dan ciri bahasa wacana tulis
1. Wacana lisan :
a). Kalimat dalam wacana lisan kurang terstruktur.
b). Bahasa lisan berisi beberapa kalimat yang tidak lengkap, dan
c). Sering hanya berupa urutan kata yang berbentuk frasa.
d). Penataan subordinatif wacana lisan lebih banyak dari pada wacana tulis.
e). Jarang menggunakan piranti hubung karena didukung oleh konteksnya.
     2. Wacana Tulis :
a). Kalimat cenderung lengkap dan panjang.
b). Bahkan terdiri dari beberapa klausa.
c). Penggunaan wacana tulis selalu dipantau dan direvisi oleh penulisnya.
d). Penataan subordinatif wacana tulis lebih banyak dari pada wacana lisan.
e). Sering menggunakan piranti hubung untuk menunjukan suatu hubungan ide.
Terdapat beberapa fungsi ujaran, ujaran tersebut adalah instrumental, regulatori, interaksional, personal, heuristik, dan imajinatif. Fungsi-fungsi ujaran tersebut dijelaskan secara ringkas seperti berikut;
  1. Fungsi instrumental: yaitu menggunakan unsure bahasa untuk memenuhi kebutuhannya atau untuk mendapatkan layanan yang baik. Fungsi itu sering disebut fungsi “keinginan saya” .fungsi tersebut antara lain: (a) meminta suatu objek umum, (b) meminta makanan, dan (c) meminta objek khusus. Contoh:
Nina  :”Itu apa,Bu?” (menunjuk bungkusan yang dibawa ibu)
Ibu    :”Donat.”
Nina :”Minta,minta…!”
Ibu   :”Ambil satu”.
   2. Fungsi regulatori: yaitu menggunakan unsure bahasa untuk mengontrol perilaku orang lain. Fungsi tersebut sering disebut “lakukan seperti yang kukatakan”. Fungsi itu seperti (a) meminta untuk melakukan suatu kegiatan,(b) meminta untuk melakukan tindakan yang khusus,(c) meminta izin melakukan sesuatu, dan (d) meminta untuk dibantu. Contoh:
Joni :”Ini mas sepedanya”.
Ari   :”sudah kamu cuci?”
Joni :”Sudah”.
Ari  :”Taruk situ dulu”.
Joni:”Ya”.
   3.Fungsi interaksional: yaitu menggunakan unsur bahasa untuk melakukan hubungan timbale balik dengan yang lain. Fungsi tersebut juga disebut fungsi “kamu dan aku”. Fungsi itu antara lain: (a) salam pada seseorang,(b) mencari seseorang,(c) menemukan seseorang, dan (d) menunjukkan rasa simpati. Contoh:
Kama :”Mbak,mbak! Dik rama jatuh,mbak”.
Nina :”Ini,ya yang sakit?”
Rama :”Ya”.
  4. Fungsi personal : yaitu menggunakan unsur bahasa untuk mengeksperikan keunikan dirinya. Fungsi tersebut disebut juga fungsi “ini aku ada”(here l come’function). Fungsi itu antara lain: (a) berkomentar pada objek yang tampak, (b) berkomentar pada objek yang tidak tampak, dan, (c) ekspresi perasaan seperti rasa tertarik, senang, keheranan, lucu, jengkel, dan mengingatkan. Contoh:
Tamu :”Hujan-hujan begini yang hangat-hangat enak,ya?”
Ayah  :”Lho,bu kopinya? Walah-walah,bu,kok ora ngrewes awak-awak” (‘Aduh- aduh,bu,kok tidak memperhatikan kita’)
Ibu    :”Oh,ya sampai lupa.Ntar,masak air dulu”.
Pada contoh bagian yang dicetak tebal merupakan komentar terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Komentar itu menunjukkan bahwa aku sebagai pembicara ada. Ujaran itu berfungsi untuk mengekspresikan perasaan diri pembicara.
  5. Heuristik : yaitu menggunakan unsure bahasa sebagai alat untuk mempelajari dunia sekelilingnya. Fungsi itu disebut juga fungsi “katakana padaku,mengapa” (Tell me why’function). Contoh fungsi tersebut antaralain: (a) minta informasi,(b) mengucapkan rasa terimakasih, dan (c) menirukan. Contoh:
       Ibu 1:”bagus sekali kainnya,jeng”.
Ibu 2:”terima kasih. Ini hadiah si menik, lho”.
Ibu 1:”si menik sekarang tinggal di mana to, jeng?”
Ibu 2:”ikut suaminya di pekalongan”.
Pada contoh bagian yang dicetak tebal merupakan ujaran yang berguna untuk meminta informasi. Ujaran itu merupakan contoh ujaran yang memenuhi fungsi heuristik.
   6.Imajinatif: yaitu menggunakan unsur bahasa sebagai alat untuk menciptakan sebuah lingkungn. Fungsi itu disebut juga fungsi “mri bermain” (Let’s prerend’function). Contoh fungsi tersebut antara lain: (a) bermain pura-pura dan (b) bersenandung atau bernyanyi. Contoh  di bawah ini merupakan percakapan anak-anak pada saat bermain.
Rama :”gambar apa?”
Nina  :”gambarnya dik rama jadi ibunya. Bapaknya ke kantor.”
Rama :”kantor…”(tertawa bersama-sama)
Pada contoh bagian yang dicetak tebal merupakan ujaran yang memenuhi fungsi imajinatif. Ujaran itu adalah ujaran pura-pura.
        Funsi –fungsi bahasa yang ditunjukkan dalam percakapan di atas tampak pada pasangan ujaran seperti bagian di bawah ini.


Pasangan Tanya jawab
Pasangan Tanya jawab merupakan dua pasangan ujaran yang berupa pertanyaan dan jawaban. Ujaran yang pertama berupa kalimat pertanyaan dan ujaran yang kedua berupa jawaban. Contoh:
Dosen       :”kamu jadi cuti kuliah,ya?”
Mahasiswa:”iya,pak”.
Dosen       :”apa kamu tidak rugi waktu nanti?”
Mahasisawa:”tampaknya tidak ada jalan lain,pak”.
Pada pengalan ujaran yang dicetak tebal berupa pertanyaan dan ujaran yang mengikutinya merupakan jawaban atas pertanyaan itu.
Pasangan pujian menerima dan menolak
         Pada percakapan sehari-hari juga dapat ditemukan pasangan ujaran terdekat yang berupa pujian penerimaan dan pujian penolakan, seperti contoh berikut.
Konteks: Rama menyanyi lagu “Naik Kereta Api”
Ibu   : “Dik Rama pinter nyanyi. Coba nyanyi Kereta Api lagi!”
Rama   : (menyanyi dan ibu mengikuti menyanyi)
Pasangan keluhan-alasan
Keluhan merupakan tindak tutur yang diungkapkan karena pembicara tidak menyukai atau tidak puas atas sesuatu yang dilakukan atau ditampilkan oleh pendengarnya. Keluhan dalam percakapan dapat berpasangan dengan alasan seperti contoh di bawah ini.
Konteks : Nita menyobeki kertas
Ayah : “Kok digituin!”
Nita : “Ndak apa-apa disobek, ngge dolanan” (untuk mainan’)
Ayah : “Ya.”
Pada contoh keluhan yang ditanggapi dengan sebuah alasan. Alasan itu merupakan usaha pendengar untuk membenarkan tindakannya. Pada contoh di atas, alasan itu dapat diterima oleh pembicara yang mengeluh.
Pasangan ajakan persetujuan dan penolakan
Suatu ujaran digolongkan sebagai tindak tutur ajakan apabila ujaran itu dimaksudkan untuk mengajak pendengar untuk melakukan sesuatu. Dalam percakapan, jakan dapat diikuti oleh ujaran yang persetujuan dan penolakan. Di bawah ini, merupakan contoh tindak ujar ajakan berpasangan dengan persetujuan.
Ayah : “Ayo, Bu kita njenguk Pak Soleh. Kabarnya terkena stroke lagi.”
Ibu : “Lho, kapan? Ayo, kita ke sana nanti sore.” 
Pasangan perintah penerimaan, penolakan, dan pembalikan
Dalam percakapan sehari-hari, ditemukan juga ujaran perintah yang berpasangan dengan penerimaan, penolakan, dan pembalikan. Dibawah ini merupakan contoh pasangan ujaran perintah dan penerimaan.
 Ayah : “Ayo, anak-anak segera mandi! Sudah sore.”
Anak-anak   : “Ya, Yah.” (sambil berebut ke kamar mandi)
Pada contoh di atas, ujaran Ayah merupakan perintah agar anak-anak segera mandi. Perintah itu diterima oleh pendengarnya. Perintah juga dapat berpasangan dengan penolakan seperti contoh di bawah ini. 
Pasangan tawaran penerimaan
Ujaran yang berupa tawaran dalam percakapan juga berpasangan dengan penerimaan. Pasangan ujaran tawaran penerimaan seperti tampak pada contoh berikut.
Nina : “Siapa yang minta permen?” (berteriak)
Rama : “Dik Rama, Dik Rama.”
Nina : “Ini, kamu satu saja.”
Pasangan ujaran permintaan izin pengabulan dan penolakan
Pasangan ujaran terdekat yang berupa panggilan dan jawaban sering ditemukan dalam percakapan sehari-hari. Pasangan panggilan dan jawaban sering tampak pada contoh berikut.
Nina : “Dina! Sini, lho!”
Dina : ”Ada apa Mbak?”
Nina : “Kita ngobrol-ngobrol aja.”
Bagian yang dicetak tebal di atas merupkan contoh pasangan panggilan dan jawaban.
Pasangan ujaran permintan izin pengabulan dan penolakan
Dalam percakapan sehari-hari, permintaan izin dapat dikabulkan dan juga dapat ditolak. Pasangan permintaan izin dan pengabulan tampak pada contoh berikut. 
          Anak   : “Bu, aku pergi belajar ke tempat Ernin!” Ada tugas  kelompok.”
           Ibu : “Hati-hati, ya. Nanti pulang jam berapa?”
           Anak : ”Nggak terlalu malam, kok.” 
 Menganalisis monolog, dialog, dan polilog
Ada tiga jenis wacana berdasarkan jumlah peserta yang ikut ambil bagian sebagai pembicara, yaitu monolog, dialog dan polilog.
Wacana Monolog
      Wacana monolog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh satu orang
(Mulyana,2005:53).
.
Wacana Dialog atau Polilog
Dialog atau polilog yang terjadi dalam masyarakat bukan hanya sekedar pertukaran informasi. Melakukan dialaog polilog bertujuan lebih dari memberikan informasi pada mitra tuturnya. Untuk tujuan itu, para peserta dialog atau polilog harus menyadari tugas mereka dalam mengembangkan dialog atau polilog. Selain itu, para peserta dialog atau polilog pelu melakukan segala sesuatu yang dapat mendukung pengembangan dialog atau polilog sesuai dengan yang diinginkan. Menafsirkan dan memahami ujaran peserta lain merupakan contoh tugas peserta dialog atau polilog dalam mengembangkan dialog atau polilog. Bagi peserta yang berbicara, tugas utamanya adalah menciptakan ujaran agar mudah ditafsirkan dan mudah dipahami

Praanggapan,Implikatur ,Inferensi Dan Dieksis

Praanggapan,Implikatur ,Inferensi Dan Dieksis

Praanggapan memegang peranan penting di dalam menetapkan keruntutan (koherensi) wacana. Menurut Filmore dalam Rani (2006:168), dalam setiap percakapan selalu digunakan tingkat-tingkat komunikasi yang implisit atau praanggapan dan eksplisit atau ilokusi. Sebagai contoh , ujaran dapat dinilai tidak relevan atau salah bukan hanya dilihat dari segi cara pengungkapan peristiwa yang salah pendeskripsiannya, tetapi juga pada cara membuat praanggapan yang salah.
Kesalahan membuat praanggapan mempunyai efek dalam ujaran manusia. Dengan kata lain, praanggapan yang tepat dapat mempertinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Makin tepat praanggapan yang dihipotesiskan, makin tinggi nilai komunikasi suatu ujaran. Menurut Chaika dalam Rani (2006:168), dalam beberapa hal, makna wacana dapat dicari melalui praanggapan. Ia mengacu pada makna yang tidak dinyatakan secara eksplisit.
Contoh :
(1) Ayah saya datang dari Surabaya.
Dalam contoh (1) Praanggapannya adalah : 1) saya mempunyai ayah; 2) ayah ada di Surabaya. Oleh karena itu, fungsi praanggapan membantu mengurangi hambatan respon orang terhadap penafsiran suatu ujaran.
Konsep implikatur dikenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk memecahkan persoalan bahas ayang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakaiuntuk memperhitungkan apa yang dimaksud oleh penutur sebagai halyang berbeda dari yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule). contoh kalau ada ujaran panas disini bukan? Maka secara implisit penutur menghendaki agar mesin pendingin dihidupkan atau jendela dibuka.
Menurut Gice dalam Rani (2006:170) dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional yaitu implikatur yang ditetukan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai.
Contoh:
Dia orang Madura karena itu dia pemberani.
Dari contoh tersebut penutur secara tidak langsung menyatakan bahwa suatu ciri (pemberani) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Madura).tapi ungkapan konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada.
Prinsip kerjasama ditopang oleh spernagkat asumsiyang disebut prinsip-prinsip percakapan (maxims of converstasion). Yaitu (1) prinsip kuantitas berikan sumbangan anda seinformatif (dengan tujuan pertukaran yang sekarang) jagan memberikan informasi melebihi yang dibutuhkan. (2) prinsip kualitas jangan mengatakan apa yang menurut anda tidak benar dan jangan meyakini bukti kebenaran yang kurang meyakinkan. (3) prinsip hubungan usahakan perkataan anda ada relevansinya, dan (4) hindari pernyataaan yang samar, krtksaaan,usahakan agar ringkas, agar bicara dengan teratur dikutip dari pendapat Grice dalam Rani (2006:172).
Makna ujaran pada contoh diatas tergantun pada konteksnya, ujaran dits merupakan ujaran yang bermakna sebagai janji, informasi, pernyataan maksut yang disebut tindak ttutur, dengan demikan ujaran ditas masih bermakna ambiguits atu bermakna ganda apabila tidak dissertai konteks peggunaannya. Perbedaan konteks, baik konteks linguistic mupun konteks etografi, dapat membedakan makna suatu bentuk lingustik. Terdapat tiga tahap dalam memahami implkatur degan cara berikut:
Tahap 1: pemaaman proporsi eksplikatur
Tahap 2: mencocokan dengan konteks(jika proporsi eksplikatur tidak cocok maka dapat dilanjutkan dengan tahap selanjutnya)
Aap 3: mengubah pemahaman proporsisi sesuai degan konteks dengan cara mencari:
Makna ujaran kelanjutan
Makna asosiasinya
Makna ironya dan
 makna yang hilang
Inferensi atau penarikan simpulan dikatakan oleh Gumperz (Rani, 2006: 183) sabagai proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks percakapan. Dengan inferensi, pendengar menduga kemauan penutur dan, dengan itu pula, pendengar meresponsnya. Dengan begitu, inferensi tidak hanya ditentukan oleh kata-kata pendukung ujaran, malainkan juga didukung oleh konteks dan situasi.
Sering terjadi apa yang dimaksud penutur tidak sama dengan apa yang dianggap oleh pendengar sehingga terkadang jawaban si pendengar tidak dapat merespons balik atau sering juga terjadi si penutur mengulang kambali ujarannya dengan cara atau kalimat yang lain supaya dapat ditanggapi pendengar. Mungkin, apa yang dimkasud penutur tidak dapat ditanggapai pendengar seluruhnya. Gagasan yang ada dalam otak penutur direalisasikan dalam bentuk kalimat-kalimat. Kalau tidak pandai-pandai menyusun kalimat atau tidak pendai-pandai menanggapinya maka akan terjadi kesalahpahaman. Lubis (Rani, 2006: 183) memberi contoh, ada dua orang berjumpa dan peristiwa perjumpaan itu diceritakan oleh salah satunya ke kawan lainnya. Terjadilah percakapan sebagai berikut :
A : “Saya baru bertemu dengan si Toni.”
B : “Oh, si Toni kawan kita SMA dulu itu?”
A : “Bukan, tapi Toni kawan kita SMP dulu.”
B : “Toni yang gemuk itu?”
A : “Bukan, bukan Toni yang gemuk, tapi Toni yang kurus.”
B : “Oh, ya, saya tahu.”
Pada ujaran pertama si B salah tanggap. Yang tergambar dibenaknya adalah si Toni teman SMA. Setelah diterangkan oleh si A bahwa Toni itu teman SMP, si B salah tanggap lagi, karena yang diduga adalah Toni yang bertubuh gemuk. Sesudah kalimat yang ketiga dari si A, barulah B paham siapa si Toni sebenarnya.
Dieksis adalah cara merujuk pada suatu hal yang berkaitan erat dengan konteks penutur (Kushartanti, 2009: 111)
Contoh:
Besok saya akan menunggu kamu disini.
Didalam ujaran tersebut, kata saya merujuk pada seseorang yang mengucapkan kalimat itu dan bukan diri kita sendiri. Kata besok merujuk pada hari sesudah hari tersebut diucapkannya ujaran. Disini merujuk pada tempat sipenutur. Semua hal itu berkaitan dengan dieksis. Ada tiga jenis dieksis, yaitu dieksis ruang,dieksis persona dan dieksis waktu. Ketiga jenis dieksis ini bergantung pada interpretasi penutur dan mitra tutur, atau penulis dan pembaca, yang berada didalam konteks yang sama (Kushartanti, 2009:111).

Kohesi dan Koherensi dalam Wacana

Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Dengan demikian, jelaslah bahwa kohesi merupakan organisasi sintaktik, merupakan wadah kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Hal ini berarti bahwa kohesi adalah hubungan antar kalimat dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu (Gutwinsky, 1976 : 26)
Khusus untuk bahasa Inggris, dua orang pakar-Halliday dan Hasan tahun 1976 telah mengemukakan sarana-sarana kohesif yang terperinci dalam karya mereka yang berjudul Cohesion in English. Mereka mengelompokkan sarana-sarana kohesif itu ke dalam lima kategori, yaitu :
Pronominal (kata ganti)
Pronomina atau kata ganti terdiri atas kata ganti diri, kata ganti penunjuk, dan lain-lain. Kata ganti diri dalam bahasa Indonesia adalah :
saya, aku, kita, kami
engkau, kamu, kau, kalian, anda
dia, mereka.
Substitusi (penggantian)
Susbtitusi adalah proses atau hasil penggantian unsure bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu. (Kridalaksana, 1984 : 185).
Susbtitusi merupakan hubungan gramatikal, lebih bersifat hubungan kata dan makna. Substitusi dalam bahasa Indonesia dapat bersifat nominal, verbal, klausal,atau campuran ; misalnya satu, sama, seperti itu, sedemikian rupa, demikian, begitu, melakukan hal yang sama.
Ellipsis
Elipsis adalah peniadaan kata atau satuan lain yang wujudnya asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Kridalaksana, 1984 : 45). Elipsis dapat pula dikatakan penggantian nol (zero); sesuatu yang ada tetapi tidak diucapkan atau tidak dituliskan. Hal ini dilakukan demi kepraktisan. Elipsis pun dapat pula dibedakan atas elipsis nominal, ellipsis verbal, ellipsis klausal
konjungsi
Konjugsi adalah yang dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frase dengan frase. Klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, atau paragraf dengan paragraf (Kridalaksana, 1984 : 105).Konjugsi dalam bahasa Indonesia dapat dikelompokkan atas :
Konjugsi adversatif : tetapi, namun
Konjugsi klausal : sebab, karena
Konjugsi koordinatif : dan, atau tetapi
Konjugsi korelatif : entah/entah, baik/maupun
Konjugsi subordinatif : meskipun, kalau, bahwa
Konjugsi temporal : sebelum, sesudah
leksikal
Leksikal diperoleh dengan cara memilih kosakata yang serasi. Ada beberapa cara untuk mencapai aspek leksikal kohesi ini, antara lain :
Pengulangan (repetisi) kata yang sama : pemuda-pemuda
Sinonim : pahlawan-pejuang
Antonim : putra-putri
Hiponim : angkutan darat-kereta api, bis
Kolokasi : buku, koran, majalah-media massa
Ekuivalensi : belajar, mengajar, pelajar, pengajar, pengajaran
Dari pengertian yang terter pada kamus tersebut, dapat dilihat bahwa tidak terlihat perbedaan nyata antara koherensi dan kohesi. Oleh sebab itu, tidak usah heran bahwa dalam sejumlah buku pengertian kedua istilah ini sering disamakan, dipertukarkan pemakainnya. Namun, berusahamembedakannya, sekalipun kita mengetahui bahwa keduanya saling menunjang, saling berkaitan.
Koherensi adalah pertalian atau jalinan antar kata, atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Sehingga fakta yang tidak terhubungkan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya.
Telaah piranti Kohesi dalam wacana mencakup dua jenis piranti kohesi, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksial. Piranti kohesi gramatikal  adalah piranti kohesi yang dinyatakan dengan jenis tata bahasa. Piranti kohesi gramatikal, meliputi piranti kohesi pengacuan (reference), pelepasa (delection), pemakaian pronominal, penyulihan (substitusi), penyebutan ulang, pemakaian konjungsi. Piranti ohesi leksial adalah piranti kohesi yang diwujudkan dalam bentuk leksial, mencakup nomina umum (general noun), reitarasi (reiteration), repitisi (repition), sinonim, superordinat, kolokasi (collaction)
Piranti Kohesi Konjungsi
Konjungsi merupakan kohesi dalam wacana teks maka terlihat pada hubungan antar unsure klausa / kalimat, baik dalam tataran intra kalimat, antarkalimat, antarparagraf, maupun dalam tataran yang lebih besar. Piranti kohesi konjungsi dalam wacana / teks dapat berwujud hubungan pertentangan, penambahan, pengecualian, sebab – akibat, dan sebagainya.
Keterangan:
Pada kata dan, juga terdapat piranti kohesi konjungsi penambahan (adiktif)
Piranti Kohesi Subtitusi (Penyulihan)
Penyulihan merupakan piranti kohesi pergantian konstituen dengan memakai kata  yang maknanya sama sekali berbeda dengan makna kata yang dibacanya
Contoh:
Oleh karena itu, Turki ingin meningkatkan kemitraan dengan Indonesia mengingat Negara itu menghadapi tantangan yang besar dalam menghadapi terror dan radikalisme.
Keterangan:
Pada kalimat diatas merupakan penyulihan, karena pada kata itu merupakan pergantian kata pengacuan yang berbeda maknanya dengan yang dialaminya.
Piranti Kohesi Referensi  (Pengacuan)
Referensi merupakan peruses mengacu kesesuatu yang diacunya.
Contoh:
a.       Indonesia adalah Negara yang sangat paham menghadapi terror.
b.  Turki ingin meningkatkan kemitraan dengan Indonesia mengingat Negara itu menghadapi tantangan dalam menghadapi teror.
Keterangan:
Konstituen Indonesia dan teror merupakan sesuatu yang diacu dan kalimat tersebut tidak mengalami pergantian kata.
Anafora dan Katafora
Anafora merupakan pengacuan oleh suatu unsur pada unsur lain yang mendahului.
Contoh:
Negara itu menghadapi tantangan yang besar dalam menghadapi teror dan radikalisme.
Keterangan:
Wacana tersebut menunjukkan Kohesi pengacuan anaphora karena mengacu kekonstituen Negara itu yang menjadi subjek klausa pertama. Katafora merupakan pengacuan oleh suatu unsure kepada unsure lain yang mengikutinya.
Contoh:
Kami terus bertekad melakukan perjuangan melawan teroris, kita memasuki era dimana harus waspada, katanya.
Piranti kohesi pengulangan
Piranti kohesi dengan sebuah wacana, juga ditandai dengan penggunaan bentuk pengulangan secara defenisi.
Adapun piranti kohesi pengulangan terdapat pada kata, yaitu:
Turki
Negara
Radikalisme
Terorisme
Indonesia
Terror
 Presiden Erdogan
Kemarin
Menghadapi
Organisasi
Isis
Perlawanan
Beberapa
Dengan kata lain koherensi sebuah wacana tidak terletak pada adanya piranti kohesi. Disamping piranti kohesi masih banyak factor yang lain yang memungkinkan terciptanya koherensi itu, antara latar belakang pengetahuan pemakai Bahasa atas bidang permasalahan (subject matter), pengetahuan atas latar belakang budaya dan sosial, kemampuan “membaca” tentang hal-hal yang tersirat, dan lain-lain (van de velde 1984). Marilah, kita perhatikan contoh dibawah ini .
“(a). Guntur kembali bergema dan hujan menderas lebih hebat lagi. (b) Hati makin kecut ”
Biarpun tidak terdapat permakah hubungan yang jelas antara kalimat (a) dan (b), tiap pembaca akan menafsirkan makna kalimat (b)mengikuti kalimat (a). pembaca mengandaikan adanya ‘hubungan semantik’ antara kalimat-kalimat itu, biarpun tidak terdapatpermarkah eksplisit yang menyatakan hubungan seperti itu. Agaknya merupakan kenyataan , bahwa kohesi, dalam penegrtian realisasi yang jelas tentang hubungan – hubungan semantik, tidak menjadi kreteria bagi identifikasi dan pemahaman wacana. Disamping itu adanya kohesi (formal) belum menjadi jaminan bagi identifikasi wacana.
Syarat lain tetcapainya koherensi wacana, selain penataan urutan kalimat ( proposisi) bahwa proposisis itu harus positif. Tuturan seperti :
“Boncel belum mempunyai istri.”
Tidak bisa menciptakan referen wacan untuk konsep istri. Karena itu, tuturan tersebut tidak bisa diikuti tuturan seperti :
“Istri cantik.  Kulitnya kuning langsat dan matanya jeli.”
Hal itu dapat dipahami karena telah diketahui bahwa boncel tidak memiliki istri sehingga tidak mungkin diberikan ciri-ciri tentang istri yang tidak ada itu.
Hal lain yang memegang peranan dalam menciptakan koherensi, menurut Dardjowidjojo (1986), ialah apa yang disebut praanggapan (presupposition). Pranggapan yang bersifat logis ( keenam,1971 :23) memeungkinkan kita mengetahui hal-hal yang tersirat dalam wacana yang kita dengar atau baca. Contoh :
       “Boncel tidak lagi memukuli istrinya ”
Pada contoh dapat diketahui bahwa (a) boncel adalah orang yang telah kawin, dan (b) ia dikenal sebagai orang ringan tangan terhadap istrinya. Kalua kedua prangaapan itu  tidak terpenuhi maka tuturan diatas tidak mempunyai nilai kebenaran (trutbbvalue). Jika kedua prangaapan itu bena, maka contoh berikut merupakan tuturan yang runtut terhadap tuturan.
Prangapaan yang bersifat pragmatick, menurut Dardjowidjojo (1986), membekali kita tentang pengetahuan yang secara kodrati kita serap sedikit demi sedikit dari fenomenaalam sekitar. Salah satu diantaranya adalah pengetahuan tentang benda. Benda apapun didunia ini memiliki bagian wajib yang secara konseptual tidak bisa dilepaskan daripadanya. Bendah seperti rumah memiliki bagian-bagian wajib. Seperti atap, lantai, pintu, dan sebagainya sedangkan manusia memiliki bagian –bagian wajib : mata, hidung, kaki, mulut, dan sebagainya. Apabila benda induknya sudah disebut, dengan sendirinya, bagian-bagian wajib lainyatelah ikut diperkenalkan sehinga bagian-bagian telah menjadi informasi lama. Contoh:
        “Firdaus membeli rumah dikota.”
Tuturan itu dapat diikuti dengan tuturan berikut.
“Pintunya dari kayu jati,Atapnya genting cor, catnya biru muda, dan pagarnya sangat tinggi.”
Factor lain seperti lokasi geografis dan kesadaran budaya dapat pula memberi pengaruh koherensi wacana. Marilah, kita perhatikan contoh dibawah ini :
(a)Dono membeli rumah minggu lalu (b) lantainya dua meter dari tanah.
Kedua tuturan itu merupakan dua tuturan yang padu bagi mereka yang ,mempunyai budaya rumah yang tinggi, sedangkan bagi kelompok lain, yang lantai rumahnya pada umumnya setara dengan tanah, tuturan seperti itu diangap aneh.
Disamping itu, pemahaman wacana juga ditentukan oleh variasi ujaran dalam situasi yang berbeda. Penguraian sumber privasi menghendaki sejumlah persyaratan , misalnya kita harus melihat peranan partisipan tutur, hubungan antar partisipan ; apakah mereka itu sahabat , orang asing , muda,tua, berasal dari status yang sama, dan seterusnya. Semua factor itu mempengaruhi apa yang dituturkan dan bagaimana suatu itu dituturkan. Tugas pendengar atau pembaca adalah menguraikan topik tuturan dan dalam situasi bagaimana tuturan itu terjadi. Namun demikian, sebagai pemakai Bahasa dalam budaya tertentu, kita memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana menafsirkan suatu tuturan.

Kohesi dan Koherensi dalam Wacana

Kohesi dan Koherensi dalam Wacana

Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Dengan demikian, jelaslah bahwa kohesi merupakan organisasi sintaktik, merupakan wadah kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Hal ini berarti bahwa kohesi adalah hubungan antar kalimat dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu (Gutwinsky, 1976 : 26)
Khusus untuk bahasa Inggris, dua orang pakar-Halliday dan Hasan tahun 1976 telah mengemukakan sarana-sarana kohesif yang terperinci dalam karya mereka yang berjudul Cohesion in English. Mereka mengelompokkan sarana-sarana kohesif itu ke dalam lima kategori, yaitu :
Pronominal (kata ganti)
Pronomina atau kata ganti terdiri atas kata ganti diri, kata ganti penunjuk, dan lain-lain. Kata ganti diri dalam bahasa Indonesia adalah :
saya, aku, kita, kami
engkau, kamu, kau, kalian, anda
dia, mereka.
Substitusi (penggantian)
Susbtitusi adalah proses atau hasil penggantian unsure bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu. (Kridalaksana, 1984 : 185).
Susbtitusi merupakan hubungan gramatikal, lebih bersifat hubungan kata dan makna. Substitusi dalam bahasa Indonesia dapat bersifat nominal, verbal, klausal,atau campuran ; misalnya satu, sama, seperti itu, sedemikian rupa, demikian, begitu, melakukan hal yang sama.
Ellipsis
Elipsis adalah peniadaan kata atau satuan lain yang wujudnya asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Kridalaksana, 1984 : 45). Elipsis dapat pula dikatakan penggantian nol (zero); sesuatu yang ada tetapi tidak diucapkan atau tidak dituliskan. Hal ini dilakukan demi kepraktisan. Elipsis pun dapat pula dibedakan atas elipsis nominal, ellipsis verbal, ellipsis klausal
konjungsi
Konjugsi adalah yang dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frase dengan frase. Klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, atau paragraf dengan paragraf (Kridalaksana, 1984 : 105).Konjugsi dalam bahasa Indonesia dapat dikelompokkan atas :
Konjugsi adversatif : tetapi, namun
Konjugsi klausal : sebab, karena
Konjugsi koordinatif : dan, atau tetapi
Konjugsi korelatif : entah/entah, baik/maupun
Konjugsi subordinatif : meskipun, kalau, bahwa
Konjugsi temporal : sebelum, sesudah
leksikal
Leksikal diperoleh dengan cara memilih kosakata yang serasi. Ada beberapa cara untuk mencapai aspek leksikal kohesi ini, antara lain :
Pengulangan (repetisi) kata yang sama : pemuda-pemuda
Sinonim : pahlawan-pejuang
Antonim : putra-putri
Hiponim : angkutan darat-kereta api, bis
Kolokasi : buku, koran, majalah-media massa
Ekuivalensi : belajar, mengajar, pelajar, pengajar, pengajaran
Dari pengertian yang terter pada kamus tersebut, dapat dilihat bahwa tidak terlihat perbedaan nyata antara koherensi dan kohesi. Oleh sebab itu, tidak usah heran bahwa dalam sejumlah buku pengertian kedua istilah ini sering disamakan, dipertukarkan pemakainnya. Namun, berusahamembedakannya, sekalipun kita mengetahui bahwa keduanya saling menunjang, saling berkaitan.
Koherensi adalah pertalian atau jalinan antar kata, atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Sehingga fakta yang tidak terhubungkan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya.
Telaah piranti Kohesi dalam wacana mencakup dua jenis piranti kohesi, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksial. Piranti kohesi gramatikal  adalah piranti kohesi yang dinyatakan dengan jenis tata bahasa. Piranti kohesi gramatikal, meliputi piranti kohesi pengacuan (reference), pelepasa (delection), pemakaian pronominal, penyulihan (substitusi), penyebutan ulang, pemakaian konjungsi. Piranti ohesi leksial adalah piranti kohesi yang diwujudkan dalam bentuk leksial, mencakup nomina umum (general noun), reitarasi (reiteration), repitisi (repition), sinonim, superordinat, kolokasi (collaction)
Piranti Kohesi Konjungsi
Konjungsi merupakan kohesi dalam wacana teks maka terlihat pada hubungan antar unsure klausa / kalimat, baik dalam tataran intra kalimat, antarkalimat, antarparagraf, maupun dalam tataran yang lebih besar. Piranti kohesi konjungsi dalam wacana / teks dapat berwujud hubungan pertentangan, penambahan, pengecualian, sebab – akibat, dan sebagainya.
Keterangan:
Pada kata dan, juga terdapat piranti kohesi konjungsi penambahan (adiktif)
Piranti Kohesi Subtitusi (Penyulihan)
Penyulihan merupakan piranti kohesi pergantian konstituen dengan memakai kata  yang maknanya sama sekali berbeda dengan makna kata yang dibacanya
Contoh:
Oleh karena itu, Turki ingin meningkatkan kemitraan dengan Indonesia mengingat Negara itu menghadapi tantangan yang besar dalam menghadapi terror dan radikalisme.
Keterangan:
Pada kalimat diatas merupakan penyulihan, karena pada kata itu merupakan pergantian kata pengacuan yang berbeda maknanya dengan yang dialaminya.
Piranti Kohesi Referensi  (Pengacuan)
Referensi merupakan peruses mengacu kesesuatu yang diacunya.
Contoh:
a.       Indonesia adalah Negara yang sangat paham menghadapi terror.
b.  Turki ingin meningkatkan kemitraan dengan Indonesia mengingat Negara itu menghadapi tantangan dalam menghadapi teror.
Keterangan:
Konstituen Indonesia dan teror merupakan sesuatu yang diacu dan kalimat tersebut tidak mengalami pergantian kata.
Anafora dan Katafora
Anafora merupakan pengacuan oleh suatu unsur pada unsur lain yang mendahului.
Contoh:
Negara itu menghadapi tantangan yang besar dalam menghadapi teror dan radikalisme.
Keterangan:
Wacana tersebut menunjukkan Kohesi pengacuan anaphora karena mengacu kekonstituen Negara itu yang menjadi subjek klausa pertama. Katafora merupakan pengacuan oleh suatu unsure kepada unsure lain yang mengikutinya.
Contoh:
Kami terus bertekad melakukan perjuangan melawan teroris, kita memasuki era dimana harus waspada, katanya.
Piranti kohesi pengulangan
Piranti kohesi dengan sebuah wacana, juga ditandai dengan penggunaan bentuk pengulangan secara defenisi.
Adapun piranti kohesi pengulangan terdapat pada kata, yaitu:
Turki
Negara
Radikalisme
Terorisme
Indonesia
Terror
 Presiden Erdogan
Kemarin
Menghadapi
Organisasi
Isis
Perlawanan
Beberapa
Dengan kata lain koherensi sebuah wacana tidak terletak pada adanya piranti kohesi. Disamping piranti kohesi masih banyak factor yang lain yang memungkinkan terciptanya koherensi itu, antara latar belakang pengetahuan pemakai Bahasa atas bidang permasalahan (subject matter), pengetahuan atas latar belakang budaya dan sosial, kemampuan “membaca” tentang hal-hal yang tersirat, dan lain-lain (van de velde 1984). Marilah, kita perhatikan contoh dibawah ini .
“(a). Guntur kembali bergema dan hujan menderas lebih hebat lagi. (b) Hati makin kecut ”
Biarpun tidak terdapat permakah hubungan yang jelas antara kalimat (a) dan (b), tiap pembaca akan menafsirkan makna kalimat (b)mengikuti kalimat (a). pembaca mengandaikan adanya ‘hubungan semantik’ antara kalimat-kalimat itu, biarpun tidak terdapatpermarkah eksplisit yang menyatakan hubungan seperti itu. Agaknya merupakan kenyataan , bahwa kohesi, dalam penegrtian realisasi yang jelas tentang hubungan – hubungan semantik, tidak menjadi kreteria bagi identifikasi dan pemahaman wacana. Disamping itu adanya kohesi (formal) belum menjadi jaminan bagi identifikasi wacana.
Syarat lain tetcapainya koherensi wacana, selain penataan urutan kalimat ( proposisi) bahwa proposisis itu harus positif. Tuturan seperti :
“Boncel belum mempunyai istri.”
Tidak bisa menciptakan referen wacan untuk konsep istri. Karena itu, tuturan tersebut tidak bisa diikuti tuturan seperti :
“Istri cantik.  Kulitnya kuning langsat dan matanya jeli.”
Hal itu dapat dipahami karena telah diketahui bahwa boncel tidak memiliki istri sehingga tidak mungkin diberikan ciri-ciri tentang istri yang tidak ada itu.
Hal lain yang memegang peranan dalam menciptakan koherensi, menurut Dardjowidjojo (1986), ialah apa yang disebut praanggapan (presupposition). Pranggapan yang bersifat logis ( keenam,1971 :23) memeungkinkan kita mengetahui hal-hal yang tersirat dalam wacana yang kita dengar atau baca. Contoh :
       “Boncel tidak lagi memukuli istrinya ”
Pada contoh dapat diketahui bahwa (a) boncel adalah orang yang telah kawin, dan (b) ia dikenal sebagai orang ringan tangan terhadap istrinya. Kalua kedua prangaapan itu  tidak terpenuhi maka tuturan diatas tidak mempunyai nilai kebenaran (trutbbvalue). Jika kedua prangaapan itu bena, maka contoh berikut merupakan tuturan yang runtut terhadap tuturan.
Prangapaan yang bersifat pragmatick, menurut Dardjowidjojo (1986), membekali kita tentang pengetahuan yang secara kodrati kita serap sedikit demi sedikit dari fenomenaalam sekitar. Salah satu diantaranya adalah pengetahuan tentang benda. Benda apapun didunia ini memiliki bagian wajib yang secara konseptual tidak bisa dilepaskan daripadanya. Bendah seperti rumah memiliki bagian-bagian wajib. Seperti atap, lantai, pintu, dan sebagainya sedangkan manusia memiliki bagian –bagian wajib : mata, hidung, kaki, mulut, dan sebagainya. Apabila benda induknya sudah disebut, dengan sendirinya, bagian-bagian wajib lainyatelah ikut diperkenalkan sehinga bagian-bagian telah menjadi informasi lama. Contoh:
        “Firdaus membeli rumah dikota.”
Tuturan itu dapat diikuti dengan tuturan berikut.
“Pintunya dari kayu jati,Atapnya genting cor, catnya biru muda, dan pagarnya sangat tinggi.”
Factor lain seperti lokasi geografis dan kesadaran budaya dapat pula memberi pengaruh koherensi wacana. Marilah, kita perhatikan contoh dibawah ini :
(a)Dono membeli rumah minggu lalu (b) lantainya dua meter dari tanah.
Kedua tuturan itu merupakan dua tuturan yang padu bagi mereka yang ,mempunyai budaya rumah yang tinggi, sedangkan bagi kelompok lain, yang lantai rumahnya pada umumnya setara dengan tanah, tuturan seperti itu diangap aneh.
Disamping itu, pemahaman wacana juga ditentukan oleh variasi ujaran dalam situasi yang berbeda. Penguraian sumber privasi menghendaki sejumlah persyaratan , misalnya kita harus melihat peranan partisipan tutur, hubungan antar partisipan ; apakah mereka itu sahabat , orang asing , muda,tua, berasal dari status yang sama, dan seterusnya. Semua factor itu mempengaruhi apa yang dituturkan dan bagaimana suatu itu dituturkan. Tugas pendengar atau pembaca adalah menguraikan topik tuturan dan dalam situasi bagaimana tuturan itu terjadi. Namun demikian, sebagai pemakai Bahasa dalam budaya tertentu, kita memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana menafsirkan suatu tuturan.